VISI SMP NEGERI 1 BAREGBEG

<> BERWAWASAN ISLAMI DAN MENJADI IDAMAN MASYARAKAT <>

Jumat, 27 April 2012

LULUS UJIAN NASIONAL



tertulis, tidak akan ada yang mau menerapkan, sebab pemerintah pusat dan daerah saling tahu sama tahu.
Bahkan,ungkap Raihan,pemerintah pusat tidak memiliki mekanisme pengawasan yang baik atas peraturan yang dibuatnya.” Seperti PP No 60 tentang Larangan Pungutan.Pada kenyataannya, saya justru dapat laporan ada SD di Jakarta yang meminta sumbangan buku,seragam,dan ujian,”ungkap Raihan di Jakarta kemarin.
Mengenai ikrar UN Jujur dan Berprestasi yang digulirkan Kemendikbud,Raihan mengaku pesimistis akan berdampak positif. Menurut dia, kecurangan UN sudah mengakar dan membudaya, baik di tingkat sekolah maupun birokrat pemerintahan. Karena itu, ujarnya, perlu ada perubahan sistem UN, seperti tidak boleh menjadikan UN sebagai syarat wajib kelulusan.
”Kalau sekolah yang menentukan kelulusan, kepala daerah tidak bisa melakukan intervensi.Namun kalau sekarang ini UN menjadi syarat utama kelulusan, itu pun ditentukan pemerintah daerah. Karena itu,pemerintah daerah mau tidak mau harus memenuhi ketentuan itu agar tidak malu,” jelasnya. Anggota Komisi X DPR Zulfadhli berpendapat, Kemendikbud saat ini hanya melakukan perbaikan teknis pada UN 2012 dengan perubahan terbesar pada percetakan.
Jika memang UN dipertahankan karena untuk memenuhi amanat UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 maka harus ada perubahan formula penilaian UN,di mana UN saat ini merajai syarat kelulusan dengan komposisi 60% dan ujian sekolah hanya 40%. Karena itu, ungkapnya, tahun depan Komisi X DPR akan meminta perubahan formulasi tersebut.Hal ini didasarkan dalam peraturan perundangan yang berhak menentukan kelulusan di tingkat pendidikan dasar adalah sekolah.
”Kami menyayangkan persentase 60%- 40% itu sudah menjadi kebijakan tetap. Padahal, mutu sekolah ini belum sama secara nasional. Karena itu, tahun ini boleh 60%-40%, tetapi tahun depan harus 50%-50%. Hal ini agar kewenangan meluluskan ada di tangan sekolah,” tegas politikus Partai Golkar ini.
Anggota Komisi X DPR Tubagus Dedy Gumelar menilai, sistem pendidikan yang dilepas dari pemerintah pusat maka akan ada ketidakberesan dalam penyelenggaraannya. Seperti UN, meskipun itu kebijakan dari pemerintah pusat, pada pelaksanaan sistemnya dilepas ke pemerintah daerah.Menurut dia, pemerintah daerah dalam hal ini tidak menjadikan kompetensi UN sebagai fokus utama,tetapi hanya ingin mencapai target kelulusan.
Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo menilai, pemerintah daerah selama ini memang menganggap UN hanya sebagai prestasi yang harus dikejar. Mereka pun mengabaikan standar pelayanan seperti kualitas guru dan sekolah agar nilai UN siswanya tinggi. ”Di satu sisi bagus karena ada sistem penilaian, namun di sisi lain tidak karena ada target mencapai kelulusan itu,”ungkapnya.
PGRI juga mengingatkan perlu adanya sistem evaluasi yang benar atas sistem pendidikan yang mampu menampilkan kondisi riil dari daerah, sehingga ada tindak lanjut dari pemerintah pusat ke guru ataupun sekolah yang bermutu buruk. Selain itu, menurut Sulistiyo, mekanisme sanksi juga perlu diperhatikan,karena jika ada guru yang melakukan kecurangan maka hal itu disebabkan pembinaan guru sebagai PNS berada di tangan kepala daerah dan bukan kementerian.
Kemendikbud, ujarnya,harus mengubah pandangan para guru, di mana adalah suatu kewajaran apabila tingkat kelulusan tidak sesuai harapan. Sebelumnya diberitakan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh meminta tidak ada intervensi yang dilakukan pemerintah daerah kepada sekolah ataupun kepala dinas pendidikan setempat saat pelaksanaan UN.